PEDAGOGIK KRITIS
DAN PENGAJARAN BAHASA ASING
OLEH: JIMMY PH.PAAT
(Pengajar Jurusan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni,Universitas Negeri Jakarta)

Pengantar
Ketika saya melontarkan pertanyaan kepada beberapa teman guru bahasa asing di SMA dan SMK di Jakarta : “Apa persoalan utama yang hampir dapat dikatakan selalu menggangu ibu dan bapak dalam mengajar?” Jawaban yang sering saya peroleh adalah jawaban yang bersentuhan dengan persoalan “bagaimana” mengajar. Artinya mereka,teman-teman guru tersebut,berpendapat bahwa “menemukan “ cara-cara mengajar yang efektif dan efisien adalah persoalam penting dalam mengajar bahasa asing.Dengan kata lain,bagi mereka yang utama (atau bahkan dapat disebut terutama),sebagai guru bahasa asing,adalah mempunyai “kiat-kiat” – begitu ungkapan yang sering dan senang mereka gunakan –yang baik dan tepat untuk digunakan dalam mengajar siswa-siswa mereka agar mampu memahami teks tulis-oral,mengungkap secara tulis dan oral dalam bahasa asing yang ssedang dipelajari. Singkatnya persoalan bagaimana mengajar siswa-siswa mereeka agar memperoleh empat kompetensi berbahasa adalah persoalan utama para guru bahasa asing. Saya jarang sekali menemukan teman-teman guru di SMA dan SMK yang mempersoalkan “apa” yang diajarkan dan “mengapa” mengajarkan misalnya unsur kebudayaan yang “itu” dan bukan yang ”ini”,”mengapa” memilih pendekatan,cara “itu” dan bukan “ini”,atau lebih sempit lagi,”mengapa”memilih mengajarkan cara “pengucapan” daerah “itu” dan bukan “ini”.
Sesungguhnya saya tidak terlalu heran melihat teman-teman guru tersebut lebih menekankan pada persoalan “bagaimana”(metode dan teknik) daripada “mengapa”. Akar penekanan pada metode mengajar tersebut,bila ingin diketahui,bisa kita temukan di tempat para guru tersebut dididik, yaitu di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan(LPTK) [83]. Jika kita perhatian program pendidikan calon guru bahasa asing di lembaga tersebut, kita akan melihat bahwa program tersebut lebih mnekankan pada guru bahasa asing yang memiliki kemampuan cara mengajar dan pengetahuan keebahasaan.
Kami, yang bergelut di dalam pengajaran bahasa asing dan yang berusaha mencoba mengacu pada pedagogik kritis[84].
kontemporer pendidikan. Pada bagian ini diuraikan juga asumsi asumsi yang dipegang pedagogik
Menyadari bahwa pengajaran bahasa asing sangat jelimet dan tidak dapat tidak selalu berlangsung di dalam konteks yang sarat dengan relasi kekuasaan[85]. Dan dalam pengajaran bahasa asing,bahasa,mengikuti Norton dan Toohey,bukan sekadar alat ekspresi,pengungkapan atau komunikasi terlebih daripada itu,yaitu bahasa suatu praktik yang membangun dan yang dibangun,dan karena itu melaluinya pembelajaran bahasa memahami diri mereka sendiri,sosial mereka,sejarah mereka dan kemungkinan-kemungkinan masa depan mereka [86]. Lebih jauh,mengikuti Paulo Freire, bahasa berfungsi untuk memberdayakan mereka yang terpinggirkan dan untuk menyusun kebutuhan pengetahuan mereka. Bila fungsi bahasatersebut tidak tercapai,tokoh utama pedagogik kritis tersebut menganggap yang terjadi adalah “verbalisme”[87] Tulisan seeperti tercantum pada judul, akan membahasu pedagogik kritis dan (dalam) pengajaran bahasa asing. Alasan mendiskusikan topik tersebut,pertama,karena kami menganggap dunia pengajaan bahsa asing di tempat kita begitu didominasi oleh satu paradigma pedagogis,yang diseut Canafarajah, pedagogy of mainstream atau mainstream pedagogy[88]. yaitu, orientasi pedagogis yang lebih bertumpu pada,diantaranya,proses belajar dan pengetahuan adalah sesuatu bebas nilai. Atau dengan ungkapan lain,tetap mengacu kepada canagarajah[89], ranah pendidikan bahasa asing kita begitu didominasi oleh metode-metode instruksional,yaitu bentuk pengajaran yang dipenuhi dengan teknik-teknik mengajar yang dianggap sebagai instrumen-instrumen yang bebas-nilai,dan berpretensi universal,alias dapat dipakai di mana saja dan untuk siapa saja dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan pedagogis yang jelimet dalam pemerolehan bahsa asing.
.
Alasan kedua,karena,menurut pengalaman saya sebagai pengajar bahasa asing di fakultas yang mempersiapkan calon-calon guru bahasa asing di sekolah menengah,tulisan ,diskusi,laporan-laporan penelitian mengenai pedagogik kritis yang dikaitkan denganpengajaran bahasa asing masih sangat jarang(untuk menyatakan tidak sama sekali)[90]. Keadaan ini tentu saja berkaitan erat dengan tertanamnya begitu dalam dan kuat apa yang disebut Canagarajah di atas, mainstream pedagogy  di lembaga pendidikan kita yang mempersiapkan guru guru bahasa asing. Dengan kata lain melalui tulisan ini saya mencoba memperkenalkan pedagogik kritis sebagai sebagai pendekatan pengajaran bahsa asing,yang merupakan pendekatan yang  “melawan” pedagogik pengajaran bahasa asing yang dominan tersebut.

Tulisan ini saya bagi tiga kelompok. Pertama, pembahasan posisi pedagogik kritis di arena teori kritis. Kedua,penguraian mengenai ciri pedagogik kritis. Dengan kata lain pada bagian ini akan dibahas beberapa konsep penting pedagogik kritis. Bagian ini adalah bagian yang terpanjang dalam tulisan ini. Ini tidak lain karena tujuan kami mengurai, menunjukkan sejauh mungkin sejauh mungkin ciri pedagogik kritis yang belum dikenal para guru di tanah air,baik guru bahasa asing maupun gutu mata pelajaran lain. Dan bagian terakhir tulisan ini adalah pembahasan pedagogik kritis yang dikaitkan dengan Pendidikan Bahasa Asing.

Posisi Pedagogik Kritis di Ranah Teori Pendidikan Kontemporer
seperti yang sudah menjadi pengetahuan berbagai  savoir protage antar anggota komunitas pelajar pendidikan, yyaitu berbagai teori pendidikan kontemporer telah hadir paling tidak sejak awal abad XX. Keberagaman teori pendidikan kontemporer tersebut oleh Yes Bertrand[91] dikelompokkan menjadi tujuh jenis besar. Yaitu,teori-teori pendidikan spiritual, teori-teori pendidikan personalitas,teori-teori pendidikan psikokognitif, teori-teori pendidikan teknologis ,teori teori pendidikan sosiokognitif,teori-teori sosial pendidikan,dan teori-teori pendidikan akademis.

Pertanyaan yang perlu dimunculkan adalah dimana letak pedagogik kritis dalam teori-teori pendidikan kontemporer tersbut di atas. Kembali mengacu kepada Bertrand,pedagogik kritis diletakkan di dalam kelompok teori sosial pendidikan (theories sociales de l’education) ,yaitu teori-teori pendidikan yang bertumpu pada pandangan yang mengutamakan transformasi sosial,dann dengan demikian fungsi yang paling utama bagi pendidikan adalah berfungsi mengubah masyarakat[92]. sedangkan teori-teori sosial pendidikan itu sendiri dipili menjadi dua kelompok besar yaitu pedagogik institusional (pedagogies institutionnelles.[93]) ) dan pedagogik penyadaran (pedagogies de conscientisation). Pada yang terakhir inilah ditempatkan pedagogik kritis  dan sekaligus uga di sederetan dengan yang di sebut pedagogie de la lieration(pedagogik pembebasan). Jadi dalam pengklasifikasian Bertrand ini,pedagogik kritis dibedakan dengan pedagogik pembebasan. Pemilahan Bertrand ini tentu saja dapat dipermasalahkan. Tetapi terlepas dari persoalan tersebut,pemilahannya mengantar kita untuk tidak saja mengetahui secara rinci posisi pedagogik kritis di dalam ranah teori pendidikan kontemporer ,tetapi juga melihat bahwa pedagogik kritis itu tampak tidak tunggal,artinya dia memiliki berbagai nama. Ini terlihat jelas ketika Bertrand memisahkan Ira Shor dan Hendry Giroux dalam dua tempat yang berbeda. Yang pertama dimasukkan ke dalam grup teori pedagogik pembebasan[94]. Sedangkan yang terakhir dikelompokkan dalam teori pedagigik kritis. Padahal kedua tokoh pendidikan kritis tersebut pada umumnya diletakkan di dalam tempat/posisi kategori yang sama, yaitu pedagogik kritis.

Ketika posisi pedagogik kritis digandengkan dengan pedagogik institusional tampak jelas posisis yang keDua sebagai gerakan perubahan pendidikan telah mencapai keberhasilannya pada dekade 60 dan 70 di Prancis dan Quebec[95], sedangkan yang pertama baru muncul di Amerika Utara, khususnya di Amerika Serikat, da awal dekade 80,[96] Tetapi sejak paling tidak dua dekade belakangan ini, pedagogik kritis yang dikembangkan para sarjana pendidikan Amerika Utara berdasarakan di antaranya pada pemikiran filosofis dan teoritis Freire. Tamapak berkembang pesat dibanding pedagogik institusional.[97] Sekalipun begitu perdagogik kritis  disebut Amerion Critical Pedagogy School,untuk menggunakan ungkapan  Glenn Rkowski,[98] tetap berada di sisi luar teori-teori pendidikan kotemporer yang dominan[99].

Ciri Pedagogik Kritis
Sebenrnya tidak mudah menguraikan ciri pedagogik kritis karena pendekatan teoritis pendidikan tersebut begitu beragam.[100] Setiap setiap pedagogi kritis diasumsikan membawa ciri pembedayaan sendiri (trait distictif) yang mengejawantah tidaksaja melalui bahsa atau gaya bahasa[101]. tetap juga profesi acuan-acuan mereka berlainan. Sebagai contoh kita bisa kemukakan di sini perbedaan antara perdagogik kritis Giroux dan Shor.[102] kalau yang pertama di kenal pada periode awalnya kental pengaruh Aliran Frankfurt, sosiologi baru  a la inggris, seperti yang dikemukakan Michel Young dan para pemikir Studi Kultural Birmingham, seperti Raymond Williams, Smart Hall. Paul Wllis,[103] sedangkan yang kedua lebih terpengaruh terutama dari Paulo Freire dengan menekan pada ”metode” dialog Freire, atau “dialogic Pedagogy”untuk menggunakan ungkapan Shor sendiri.[104] mari kita lihat lebih rinci ciri-ciri pedagogik kritis di bawah ini.[105]

Dialog
Konsep dialog merupakan salah satu konsep kunci bagi pedagogi kritis. Untuk itu sebagai pemerian ciri pedagogik kritis, dialog sudah sepantasnya dikemukakan di awal. Tentu saja penjelasaan konsep ini tidak dapat lepas dari apa yang dikemumakan Paulo Freire,[106] tetapi yang diuraikan di sini ditemani juga oleh apa yang dikembangkan Ira Shor.[107] ”apakah dialog itu”, tanya Freire dengan mengacu pada Jaspers dia mengupas dialog sebagai suatu relasi horisontal yang penuh persahabatan antara dua individu dan yang didominasi oleh cinta, harapan, percaya diri, dan penilaian kritis.[108]  Apa makna hubungan horisontal untuk guru dan siswa? Menurut pemikiran Freire,  posisi yang sejajar antara siswa dan guru di sekolah atau di kelas membawa mereka ke sikap kesalingpengertian antarguru-siswa. Kesalingpengertian ini adalah unsur afektif yang utama dari pendidikan dialogis yang diusung Freire.
Makna lain dari konsep dialog yang diusung Freire adalah adanya pengertian kesalingberbagian, kesalingmemberian sesuatu antara guru dan siswa yang berdialog[109] Hadirnya kesalingberbagian ini di dalam praktik pendidikan membawa perubahan tidak saja pada peran guru tetatpi juga siswa. Untuk yang terakhir, perannya tidak saja, di dalam kelas, penerima apa yang disampaikan gurunya, tetapi mendidik guru.[110].
Dialog juga, menurut Fraire, berkaitan erat dengan komunikasi. Kedua unsur tersebut tidak saja merupakan unsur-unsur penting dalam pendidikan, tetapi menujukkan juga bahwa kedua unsur tersebut sama lainnya: “Without dialogue there is no communication, and without communication there can be no true educatioan”.[111] Dalam kkonteks inilah kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan Fraire ketika mengatakan dalam suasana dialog lah, manusia berkembang.[112]
Konsep dialog dalam pendidikan, yang telah ditawarkan Freire lebih kurang sejak setengah abad lalu, pada dasarnya untuk mengkritik paraktik pendidikan yang disebutnya pendidikan “antidialog”. Jika kita perhatikan apa yang terjadi di sekolah, model pendidikan anti-dialog begitu mendominasi di rananh sekolah, dia juga terlah begitu lama mempengaruhi seluruh kehidupan sejarah kebudayaan kita.[113]
Antidialog dikemukakan Freire menurut saya, dalam rangka memperjelas makna konsep dialog. Dialog becirikan di antaranya relasi horisontal sarat dengan cinta, harapan, sedangkan antidialog Freire tidak hanya mengurai apa yang terjadi di dunia persekolahan, tetapi lebih dari itu. Dia mencoba mengubah lembaga pendidikan tersebut. Untuk “,elawan” antidialog, Freire menawarkan apa yang disebutnys pedagogik komunikasi.[114] yaitu pedagogik yang didasari atas konsep dialog, dengan perngertian ini kita dapat mengatakan pedagogik komunikasi adalah apa yang disebut Shor dialogic pedagogy. Tetapi untuk lebih jelas ada baiknya kita melihat lebih rinci apa yang disebut “pedagogik dialogs”.
Shor menggambarkan sembilan ciri kelas berisi pedagofik dialogs, di antaranya:
-       Kelompok belajar formal ditata oleh seorang guru yang kritis yang mengembangkan kelas, bersama siswa mengsiasikan kurikulum dan berbagi pengambilan keputusan bersama siswa, dengan menggunakan otoritasnya secara koperatif;
-   Proses belajar di mana para pertisipan bertanggunng jawab atas atas evaluasi terhadap belajar yang sedang berjalan, dengan metode kualitatif untuk memberi umpan balik pada pada individual maupun kelompok;
-   Kesadaran kritis terhadap diri sendiri, pengetahuan yang diterima, dan masyrakat adalah suatu tujuan dalam belajar; mereka dan pemahaman mereka;
-      Memperhatikan dengan amat sangat kondisi dan kultur siswa jadi bahasa, tema, tahap perkembangan dan kebutuhan mereka merupakan titik berangkat.

Pemerdekaan
Pedagogik kritis yang dibawa Freire dari Brazil berlawanan dengan pendidikan laisse-faire yang hanya menekankan pada kebebasan seseorang. Mendidik, menurut pendekatan pedagogik kritis, adalah menawarkan suatu arah pada siswa,arah yang merupakan bagian dari kegiatatan pendidikan jadu bukan dari guru[115]. Dan arah tersebut Adalah membentuk seseorang menjadi aktor sosial yang berfungsi membebaskan diri dan membebaskan orang lain dari kungkungan kelas dominan.[116] 116Dalam pengertian ini pemerdekaan ini sama sekali tidak bersifat individual tetapi sosial. Dalam konteks ini pula pedagogik kritis mengoposisikan pendidikan yang memerdekakan dan yang menjinakan.[117] Pendidikan yang menjinakan tersebut hanya berurusan dengan cara-cara memindahkan pengetahuan dari kepala si pendidik ke kepala si siswa, dan tidak pernah mendiskusikan nilai-nilai “tersembunyi” pendidikan. Pedagogik kritis dengan demikian, seperti yang dikemukakan Freire, yaitu melalui pendidikan pemerdekaan, merupakan pendidikan yang berporoskan pda revolusi kultural.[118]

Lontar Masalah
Pedagogik kritis berpendapat bahwa pendidikan harus lahir dan dijalankan berdasarkan atau mengandalkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari siswa dan guru secara natural. Dalam pengertian ini pendidikan disinonimkan dengan lontar masalah (problem-posing) dan dengan sendirinya guru adalah “pelontar msalah” (teacher as problem-poser).[119] Shor menyarankan awal pelajaran atau kuliah (awal semester) dapat diawali dengan pertanyaan[120] Misalnya dalam pelajaran bahasa, seorang guru dapat memulai pelajaran menulis dengan petanyaan, “Apa yang dimaksud dengan tulisan yang baik?” Setelah siswa atau mahasiswa menjawab dengan beberapa kalimat, sang guru melanjutkan dengan beberapa pertanyaan, “Bagaimana menjadi seorang penulis yang baik?” Contoh lain lontar masalah yang dikemukakan Shor menarik untuk diperhatikan adalah dalam pelajaran jurnalisme.[121] Shor mengutarakan, dia tidak memulai pelajaran mengenai “mass media” dengan bentuk kuliah yang tradisional. (didactic lecturing),[122] seperti menjelaskan struktur dan politik organisasi media. Tetapi dia meminta siswa-siswanya untuk menuliskan apa yang dimaksu dengan “mass meida” untuk mereka. Dengan demikian “pelajaran akan dimulai dengan memikirkan pengetahuan yang mereka miliki mengenai dengan bahasa mereka”, ujar Shor. Model yang dikemukakan Shor ini menunjukan bahwa guru sebagai “pelontar masalah” berada pada kelas pelajaran yang berpusat pada apa yang disebut Shor student-centered material dan bukan teacher-centered texts. Apa yang terjadi di kelas Shor tentu saja dilakukan perbandingan definisi antara apa yang dilakukan Shor, sebagai guru, yaitu definisi yang membandingkan antara media alternatif dengan media mainstream, dan definisi siswa yang umum, seperti media seperti TV, koran yang mengedarkan berita dan hiburan. Dari perbandingan tersebut muncul persepsi, pandangan-pandangan dari siswa. Dengan kata lain mlalui lontar masalah di dalam kelas lahir dialog.

Kelas yang memerdekakan bagi pedagogik kritis, dimulai dengan siswa yang aktif dan berpikir. Dengan kata lain kels yang memerdekakan selalu dimulai tidak saja dengan keikutsertaan sisa tetapi juga mengajak siswa mengkaji mata pelajaran yang diberikan kepada mereka dari sudut pandang mereka. Untuk itu melalui kelas yang memerdekakan, siswa diposisikan sebagai orang yang berpengetahuan.

Mencari, menelii adalah unsu penting yang ditekankan guru dengsn pendekatan pedagogik kritis. Dengan penekanan unsur tesebut pedagogik kritis berpendapat pendidikan adalah politik. Shor menunjukan dengan baik politik dalam praktik di sekolah. Diantaranya yang dikemukakan Shor adalah politik ada di dalam pemilihan subjek yang diajar, yang dimasukkan ke dalam silabus; dalam pemilihan metode pengajaran, apakah itu merupakan pilihan berdasarkan keputusan bersama, atau hak istimewa guru, atau atas hasil negosiasi, atas sesuatu yang dipaksakan; dalam pemaksaan tes-tes standar; dalam lontaran-lontaran pertanyaan dan pertanyaan guru; dalam pengelompokan siswa; dalam bentuk, warna ruang sekolah yang mengirim pesan ke siswa mengnai idiologi atau posisi sekolah dan apa yang bernilai di masyarakat; dalam pengabaian peran seni di sekolah; dalam pemilihan antara bahasa baku dan nonbaku; dalam Pemilihan pengajaran bahasa asing. Uraian sifat politik pendidikan Shor menunjukan bahwa pendidikan adalah tempat individu dan masyarakat dibentuk, dan karena itu, menurutnya pendidikan adalah politik. Untuk itu sangat tepat ketika Freire mengutarakan the whole activity of education is political in nature.[123] 
Desosialisasi
Berangkat dari uraian-uraian diatas, dialog, guru sebagai pelontar masalah, kita dapat mengatakan pendidikan sesungguhnya harus bertumpu pada pertanyaan-pertanyaan, persoalan-persoalan yang dikemukakan secara natural oleh siswa. Lebih sempit lagi kita dapat mengatakan pendidikan di sekolah, di kelas harus bercirikan lontaran-lontaran pertanyaan, seperti dari pertanyaan-pertanyaan sederhana, bahkan tidak penting, seperti “apa makanan yang biasa orang Indonesia makan?” hingga yang agak rumit, seperti, “siapa yang mengontrol penjualan beras di Iindonesia?”
Melalui pelontaran masalah atau dialog, siswa dan juga guru mempertanyakan segala hal yang biasa terjadi di dunia persekolahan, seperti reaksi di ruang kelas, otoriter yang sepihak, dan silabus resmi. Dengan kata lain dengan lontar masalah seorang guru melakukan juga apa yang disebut Shor desosialisasi.[124] Konsep tersebut, menurut Shor mengacu pada mempertanyakan perilaku, pengalaman sosial di sekolah dan kehidupan sehari-hari yang membuat kita seperti apa adanya. Lebih lanjut bahwa Shor mengatakan bahwa desosialisasi adalah mempertanyakan perilaku yang telah dipelajari, nilai-nilai yang telah diterima, bahasa yang telah akrab dan relasi kekuasaan, dan diskursif tradisional yang ditanam di kelas dan di luar kelas. Mungkin tidak berlebihan desosialisasi adalah suatu bentuk mempertanyakan apa yang disebut Bourdieu habitus.[125] Melalui desosialisasi, sesungguhnya banyak sekali pengetahuan, yang sudah mengakar tidak saja di benak para siswa tetapi juga para guru, dapat dipertanyakan.[126] Desosialisasi di dalam kelas berarti siswa bersama guru mempertanyakan praktik-praktik kultural dan sosial yang dominan yang mengelilingi kita.
Satu hal yang perlu dicatat kaitannya dengan desosialisasi, seperti diingatkan Bertrand, adalah guru harus berbagi kekuasaan dengan siswa. Semakin guru berbagi kekuasaan tesebut, ungkap Bertrand, siswa semakin bepartisipasi dan mereka semakin mendesosialisasi apa yang telah mereka peroleh.
Kesadaran Kritis
Tujuan pendidikan dalam kerangka pedagogik kritis adalah kesadaran kritis (critical consciousness).  Shor menguraikan empat sifat kesadaran kritis.[127] 
-      Kesadaran akan kekuasaan (power awareness). Kita mengeteahui bahwa masyarakat dan sejarah dapat dibuat dan dibuat kembali oleh tindakan manusia dan diatur oleh kelompok-kelompok; kita mengetahui siapa yang menjalankan kekuasaan dominan dalam masyarakat dengan tujuan apa dan bagaimana kekuasaan diatur dan digunakan di dalam masyarakat.
-      Literasi kritis (critical literacy). Dengan bantuan literasi kritis kita dapat menganalisi apa yang berada di balik mitos, atau apa yang hanya opini-opini dan strereotip; memahami konteks sosial dan konsekuensi dari mata pelajaran, dan menemukan makna yang terdalam dari peristiwa, teks, pernyataan, citra, atau keadaan, mengaplikasikan makna tersebut pada konteks siswa itu sendiri.
-    Desosialsasi (desocialication). Melalui desosialisasi kita dapat mengenali dan menantang mitos, nilai-niai, perilaku-perilaku, dan bahasa yang dipelajari dalam budaya massa; mengkaji secara kritis kemunduran nilai-nilai yang berlangsung di masyarakat, yang diinternalisasikan, dibatinkan kedalam kesadaran - seperti rasisme, sexism, (bisa ditambahkan ageism, linguism), bisa kelas sosial, homofobia, keterpesonaan terhadap kekayaan, kekuasaan. Pemujaan terhadap pahlawan, konsumerisme, melarikan diri ke individualisme, militerisme, dan national chauvinism;
-     Pengorganisasian diri/Pendidikan diri (Self-Organization/Self Education). Pendidikan pada umumnya terlalu jauh dari pendidikan yang mengantar siswa mengambil inisiatif. Pendidikan yang mengacu pada pengambilan inisiatif bertujuan unuk mengubah sekolah dan masyarakat yang memiliki hubungan otoriter dan tidak demokratis, mengubah distribusi kekuasaan yang tidak setara. Pendidikan semacam ini mengantar siswa mengambil inisiatif untuk melaksanakan rencana perubahan sosial dan mengatasi penyebab antiintelektualisme dari pendidikan masa.

Bentuk Penghargaan
Di atas telah disentuh persoalan pengetahuan menurut pedagogik kritis, yaitu, pengetahuan dibangun secara sosial. Berangkat dari pernyataan ini para pedagog kritis mempertanyakan hal-hal sebagai berikut :
-          Bagaimana dan mengapa pengetahuan dibentuk dengan cara ini dan bukan itu?
-          Mengapa pengetahuan ini diajarkan dan yang lain tidak?
-     Mengapa guru si Badu mengajar dengan menggunakan gaya pedagogis, metode mengajar tertentu dalam menyampaikan pengetahuan di kelas (misalnya dalam pengajaran bahasa asing, mengapa sang guru mengunakan pendekatan komunikatif?)
-          Mengapa ada pengetahuan yang memiliki nilai atau status yang tinggi dan ada yang dimarjinalkan?
-          Siapa yang berkepentingan dalam penggunaan pengetahuan itu dan ini?
-          Pengetahuan siapa yang diajarkan?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita untuk mengkaji hal-hal yang berkitan dengan bentuk pengetahuan yang diperoleh siswa di sekolah. Sebelum kita mengurai jenis pengetahuanyang diajarkan di sekolah, perlu kita menganalisis jenis objektif pengajaran.

Jenis Objektif Pengajaran
Kita yang berada di ranah pengajaran, baik yang sudah menajadi pegajar maupun yang calon pengajar, telah mengenal dengan baik apa yang disebut menuliskan objektif pengajaran. Pedagogik kritis tentu saja tidak membahas pengertian pendefinisian tujuan mengajar seperti yang biasa dilakukan para guru dan yang diajarkan di sekolah-sekolah guru, seperti menentukan tujuan instruksional umum dan khusus, istilah yang mendominasi bahasa pendidikan kita di Indonesia di dekade 1970 hingga 1980. Pendefinisian pengajaran yang dibatasi oleh psiklogi behaviorisme ini coba dilampaui para pedagog kritis. Giroux memilah dua jenis tujuan mengajar.[128] Objektif makro (macro objective) dan objektif mikro (micro objective). Menurut Giroux, pengelompokan objektif ini dapat membantu guru memperjelas hubungan antara pengetahuan yang dibentuk secara sosialdengan ruang belajar-mengajar
Objectif mikro. Objektif ini menggambarkan isi mata pelajaran yang diajarkan dan dicirikan dengan kekhususan tujuannya. Jenis objektif ini berkaitan dengan pengorganisasian, pengklasifikasian, penguasaan dan pemanipulasian data. Pengetahuan yang di berikan di kelas dengan bertumpu pada objek mikro, pada umumnya pengetahuan yang telah diseleksi dan berkaitan dengan apa yang di sebut productive knowledge
Objectif makro. Melalui objectif ini, siswa dapat mengaitkan metode, isi, dan struktur pelajaran dengan maknanya dalam realitas masyarakat luas. Guru dengan pengajaran yang berobjektif makro mengantar siswa untuk mampu menganalisis isi pelajaran, nilai-nilai dan norma-norma dalam kaitannya dengan tujuan yang telah direncanakan untuk dijalankan, dan mampu untuk membuat kurikulum tersembunyi menjadi eksplisit; dan objektif makro mampu mengantar para siswa untuk mengembangkan kesadaran kritis dan politik.[129]
Kedua jenis objektif tersebut harus dijalankan secara bersama oleh guru. Misalnya dalam pelajaran kebudayaan (sejarah-geografi) prancis, melalui tujuan mikro, guru mengajarkan kota paris. Apa yang diajarkan, mengajarkan satu atau dua quartier(“daerah”) di paris tempat-tempat penting di “daerah” tersebut, misalnya quartier latinatau “belleville,” gedung apa saja yang ada di daerah-daerah tersebut. Kaitannya dengan tujuan makro.

Contoh lain, berkaitan dengan menjalankan dua objektif, yaitu mikro dan makro, secara berdampingan, dapat dikemukakan misalnya pengajaran sejarah yang terakhir ini melalui tujuan mikro, guru mengajarkan tentang Timor timur (Timtim). Apa yang diajarkan guru sejarah kaitannya tengan Timtim? Kita dapat memperkirakan sang guru akan membahas bersama murid-muridnya mulai dari masuknya TNI ke Timtim, 7 Desember 1975,[130] alasan masuknya, Pertentangan antara mereka yang membela tidak adanya pelanggaran HAM di Timtim dengan mereka yang berpendapat sebaliknya hingga pelepasan Timtim, termasuk pembahasan “Yang tersingkir dan pro integrasi” untuk menggunakan ungkapan Rien Kuntari, diawal kurun waktu melepasnya Timtim.

Sedangkan kaitannya dengan tujuan makro, sang guru sejarah dapat mengajar dengan menitikberatkan pada hubungan  antar peristiwa-peristiwa yang khusus dengan masalah sosial yang lebih luas dan implikasi politiknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilontar guru kaitannya dengan pengajaran yang berdasarkan tujuan makro adalah: siapa yang berkepentingan dalam “pendudukan” Timor Timur? Siapa yang beruntung dalam pendudukan tersebut?
Pembentukan pengetahuan berdasarkan tujuan mikro ini bersifat sosial politik, dan oleh Giroux disebut directivee knoeledge. Di bawah iniakan diuraikan lebih rinci dua jenis pengetahuan pembagian Giroux.[131]

Bentuk Pengetahuan

Seperti yang telah di kemukakan di atas, Giroux memilah dua bentuk pengetahuan, searah dengan pengelompokkan dua jenis objektif pengajaran, yaitu productive knowledge dan directive knowledge
Productive knowledge. Ciri jenis pengetahuan produktif adalah pengetahuan tersebut dapat diukur, diklasifikasikan, dikuasai, dan dimanipulasi. Ilmu-ilmu alam merupakan dasar dari jenis pengetahuan tersebut. Oleh karena itu pemerolehan pengetahuan tersebut digunakan sebagai instrumen dalam pengembangan teknologi dan pengetahuan. Di dalam ranah pendidikan atau persekolahan, pengetahuan produktif sangat dominan. Ia digunakan guru, kepala sekolah, pengambil kebijakan, misalnya untuk mengelompokkan anak didik. Salah satu bentuk pengetahuan tersebut adalah diantaranya tes IQ. Kebijakan pemilihan jenis sekolah,sebagai contoh, dilakukan pengambil kebijakan berdasarkan pengetahuan produktif. Termasuk kebikan pelaksanaan UN di tanah air kita.

Directive knowledge adalah suatu cara memperoleh pengetahuan (a mode inquiry)  yanng direncanakan untuk menjwab pertanyaan yang tidak dapat dijawab pengtahuan produktif. Giroux mengutarakan

Directive knowledge is philosophical of inquiry in which students questions the purpose of what they are leaning. It is knowledge that questions now productive knowledge its to be used. Directive knowledge fornulate the most important questions in improving the quality of life because it ask “for what end”[132]

Dengan directive knowledge guru dapat mengantar siswa mengenal fungsi sosial pengetahuan, dan mengajak mereka mengetahui bahwa pengetahuan, dan mengajak mereka mengetahui bahwa pengetahuan produktif dapat dipertanyakan melalui pengetahuan direktif. Dengan kata lain pengetahuan direktif tidak saja guru tetapi siswa juga akan lebih jelas melihat bagaimana hubungan masyarakat yang dimanipulasi, diselewengkan oleh adanya hubungan kekuasaan dan hak-hak istimewa para perdagok kritis percaya bahwa pengetahuan direktif dapat menciptakan dasar-dasar pemberdayaan anak didik mereka.

Pedagogik Kritis dalam Bahasa Asing
Pedagogik kritis bukanlah pendekatan pendidikan yang benar-benar asing di ranah pendidikan Indonesia. sekalipun terjemahan buku klasik Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, dalam bahasa Indonesia hampir lima belas tahun terbit bukunya yang berbahasa inggris tersebut,[133]  jika perhatikan apa yang dikemukakan Danuwinata dan Sastrapratedja, tifak berlebihan bila orang mengatakan kita tidak terlalu asing  dari pemikiran Freire. Perhatikan laporan kedua pengajar filsafat di sekolah Filsafat Drijarkara tersebut:

Sebetulnya di kalangan masyarakat Indonesia, pemikiran dan buah karya Paulo Freire juga tidak dapat dikatakan masih asing sama seklai. Hal ini terbukti antara lain bahwa Mashuri dalam kedudukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada kesempatan seksi dalam konferensi umum UNESCO tahun 1972 telah menyebut-nyebut salah satu tema pokok buku Paulo Freire Pedagogy of the Oppressed yaitu “kebudayaan bisu”. Dikatakan olehnya bahwa “kebudayaan bisu” itu terwujud dalam kebudayaan tani. Ia tidak Membekali mereka yang mengalami nasib buruk menjadi pemilik kebudayaan itu khasanah kata-kata  yang dibutuhkan untuk memungkinkan mereka memahami dirinya sendiri dan realitas sosial secara kritis. Pemahaman kritis ini merupakan kondisi untuk memungkinkan mereka secara lebih penuh melibatkan dirinya dalam perubahan menyeluruh negara masing-masing dan dunia. Kebudayaan petani tidak memuat corak kata-kata yang dapat dipergunakan dalam pembicaraan tentang realitas sosial, kecuali dalam kerangka tradisi lama, sehingga kaum tani tetap tinggal bisu.

Tetapi sekalipun kita dapat mengatakan ide Freire tidak asing,artinya telah muncul,bahkan pernah menyebar di kalangan yang paling elit di ranah pendidikan kita, seperti menteri pendidikan di masa awal pemerintahan Suharto, tidak berarti ide Freire tersebut atau dalam pengerttian yang luas pendagogik kritis telah merembes di banyak kalangan pendidikan di Indonesia. apalagi jika kita melihat ranah pendidikan bahasa aing. Hampir dapat dikatakan pedagogik kritis masih sangat kabur bagi para pendidik bahasa asing.di tanah air kita.

Pendidikan Bahasa Asing [134]

Didaktik[135] bahasa asing adalah suatu disiplin yang sangat tua sentosa Kegiatan mengajar dan belajar bahasa asing.[136] Walaupun begitu penelitian mengenai bahasa asing memperoleh legitimasi. Sebagai contoh, pengajaran bahasa Prancis  sebagai bahasa asing di dekade 1950 yang menjadi acuan munculnya didaktik bahasa asing,[137] pada dasarnya bertumpu pada linguistik Ferdinand de Sausure dan penelitian-penelitian akustik dan fontetik aplikasi yang di kembangkan Petar Guberina. Dengan mengacu pada bapak linguistik moderen dan Guberina tersebut lahirlah apa yang disebut aliran struktur-global audio-visual (SGAV) yang mendominasi metode pengajaran bahasa perancis sebagai bahasa asing.[138] Pada masa inilah Sesungguhnya didaktik bahasa asing atau ditaktik bahasa kedua memasuki “era ilmiah”.[139]

Kritik terhadap pengajaran bahasa asing awal era ilmiah, yaitu yang bertumpu pada strukturalisme berlangsung bersamaan munculnya metode pengajaran bahasa asing dengan pendekatan lain, yaitu diantaranya, apa yang disebut pendekatan komunikatif yang mucnul di dekade 1970.[140] Suatu pendekatan pengajaran bahasa yang memperhatikan aspek sosial bahasa, ciri kondisi sosial pemroduksian bahasa.[141] Pada dekade tersebut sebenarnya hadir juga pendekatan pengajaran bahasa asing yang lain, yaitu pendekatan yang berbau psikologis, pendekatan yang bertumpu pada pembelajar. Pendekatan psikologis tersebut biasanya dikaitkan dengan aliran humaniste dalam pendidikan, aliran yang diinspirasikan oleh psikolog Carl Rogers. Pada era ini juga, beramgkat dari psikologis humanis, Henri Holec,[142] memunculkan konsep-konsep, dalam belajar bahasa asing, I’autonomie de I’apprenant (otonomi pembelajar), I’autodirection deI’apprentissage (pembelajaran yang diarahkan oleh siswa sendiri). Singkatnya didaktik bahasa asing berkembang, khususnya yang dibangun para didaktolog Prancis. Bahkan yang terkahir ini sampai membawa didaktik bahasa asing menggunakan diskursif-diskursif teoretis lain, Dengan kata lain berbagai pendekatan menjadi acuan didaktik bahasa asing. Misalnya Christian Puren menawarkan apa yang disebut Didaktik bahasa multidimensional (didactique multidimensionelle).[143] Sekalipun di Prancis lahir didaktik multidimensional yang baru ditawarkan di dekade 1990, dan yang lebih awal, yaitu pedagogik institusional,[144] saya tetap mengatakan, searah dengan apa yang dikemukakan pendapat Galisson[145] di dekade 198, Didaktik Bahasa Asing (a la Prancis) tidak berani memilih pendekatan pedagogik yang mendobrak anomali, korupsi, kebobrokan masyarakat dan menganjurkan perubahan melalui penggulingan 

aturan-aturan yang sudah mapan dengan jalan menyerang budaya, sosial, dan politik masyarakat.
Dalam konteks ini tidak berlebihan jika dikatakan para sarjana pengajaran bahasa asing atau bahasa kedua yang bekerja di Amerika Utara dan Australia berbeda dari kolega-kolega mereka di Prancis. Perbedaannya tampak jelas antara yang di Amerika Utara dengan yang di Prancis, adalah para pengaar-peneliti bahasa inggris sebagai bahasa kedua (ESL) denfan perspektif Freirian begitu rinci melaporkan pemfokusan mereka pada “suara-suara” siswa yang termajinalisasikan, yaitu mereka yang di sekolah (di kelas) terbisukan karena sekolah mengajarkan budaya dominan yang asing bagi mereka.[146]  Jika sejak dekade 1980 tampak berkembang penggunaan perpektif  Freirian atau pedagogik kritis dalam pengajaran bahasa inggris sebagai asing atau kedua,[147] dan juga sebagai bahasa pertama[148] di Amerika Utara dan Australia, tidak begitu halnya dalam pengajaran bahasa Prancis sebagai bahasa asing, di Prancis sendiri.

Kaitannya di Indonesia, saya sulit menemukan tulisan atau laporan penelitian pendidikan bahasa asing yang berperpektif pedagogik kritis. Tapi tidak berarti dunia pengajaran bahasa asing kita belum ada pengajar yang berkenalan.[149] Hal ini mau tidak mau kita harus megaitkan dengan LPTK tempat para guru bahasa asing memperoleh pendidikan guru. Di lembaga tersebut mereka lebih banyak dicekoki dengan persoalan-persoalan bagaimana mengajar misalnya tata bahasa atau lebih dari itu bagaimana mengajar suatu tindak tutur tertentu yang biasa dipakai di percakapan sehari-hari. Atau memperkenalkan unsur budaya bangsa yang sedang dipelajari bahasanya, tanpa membahas mengapa memperkenalkan unsur tersebut. Atau bahkan lebih jauh tanpa menghubungkan unsur-unsur dalam materi ajar dengan politik masyarakat tempat bahasa itu diajarkan.
Dalam konteks ini menurut saya apa yang disampaikan di tulisan ini memperoleh posisinya, yaitu sebagai ajakan menoleh ke pengajaran bahasa asing dengan pendekatan pedagogik kritis.

Penutup

Dari uraian di atas pertanyaan yang muncul adalah apa yang seharusnya dilakukan kita, pengajar bahasa asing di Indonesia. Sesungguhnya dengan memperhatikan keadaan kita di tanah air dan juga di dunia yang penuh dengan persoalan ketidakadilan sosial, kultur, dan politik, bagi saya pendekatan pedagogik kritis adalah salah satu pendekatan yang tepat untuk membangun kesadaran kritis para pembelajar bahasa asing yang berhadapan dengan persoalan-persoalan tersebut.

Memang di LPTK, yang merupakan tempat mempersiapkan calon guru dan juga sekaligus tempat mengeksplorasi ilmu-ilmu pendidikan, pedagogik kritis belum lagi menjadi “makanan” atau “menu” sehari-hari baik para pengajarnya maupun mahasiswanya. Sehingga pedagogik kritis belum begitu trdengar suaranya yang sesungguhnya menggelegar untuk menghantam pedagogik dominan yang menjadi pegangan mayoritas para guru. Sekalipun begitu para guru yang berhasrat berperspektif pedagogik kritis dalam kegiatan pendidikannya tidak perlu berkecil hati karena jejak pedagogik kritis telah ada di tanah air. Untuk itu kita perlu menyebut jejak-jejak, yang berada di dunia pendidikan guru di antaranya, H.A.R. Tilaar. Yang terakhir ini sangat patut dikemukakan karena beliau adalah mungkin satu-satunya di LPTK yang membuka jalan bagi mereka yang berhasrat menjadi guru dengan perspektif pedagogik kritis. Karya-karyanya menjadi salah satu tanda jejak tersebut.[150]



Refrerensi
Betrand, Yves. 1998. Thѐoriѐs Contemporaines de l'ѐducation. Lyon & Montreal, Chronique Sociale & Editions Nouvelles.
Besse, Henri. 1984. Mѐthodes et Pratiques des Manuels de la langue ( Analisa teoritis Metode-metode Pengajaran Bahasa Prancis dan Buku Pelajaran Bahasa Prancis sebagai bahasa asing). Paris: Didier-Credif.
Bourdieu, Pierre dan Passeron, Jean-Claude. 1970. La Reproduction. Elѐments pour une Thѐoriѐ du Systѐme d'enseignement, (Reproduksi Unsur-Unsur Teori Pendidikan). Paris: Minuit.
Bourdieu, Pierre & Wacquant, Loїc J.D. 1992. Rѐponses. Pour une Antropologie Rѐflexive (Pengantar ke Sosiologi Bourdieu). Paris: Le seuil.
Canagarajah, Athelstan Suresh.1999. Resisting Linguistic Imperialism in English Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Claude, Germain. 1993. Evolution de l'enseignement des Langues : 5000 ans d'historie (5000 tahun sejarah pengajaran bahasa asing). Paris: CLE International.
Cortѐs, Jacques. 1987. "Les origines de la modernitѐ en didactique des langues" (Asal nodrrnitas dalam didaktik bahasa), in Jacques Cortes, Une Introdaction á la Recherche Scientifique en Didactique des langues (Pengantar Penelitian Didaktik Bahasa). Paris: Didier-Credif.
Cortès, Jacques et Cortès, Josyane. 1987. “Une taxonomi de la recherche en didactique des langues” (Taksonomi penelitian didaktik bahasa), in Jacques Cortès et al., Une Introduction ɑ la Recherche Scientifique en Didactique des Langues (Pengantar Penelitian Didaktik Bahasa). Paris: Didier-Credif.
Coste, Daniel (sous la direction). 1994. Ving ana Dans l'évolution de la Didactiques des langues (1968-1988), (Dua Puluh tahun evolusi didaktik bahasa). Paris: Hatier-Didier.
Cuq, Jean-Pierre et Gruca, Isabelle. 2002. Cours de Didactique du Français étrangére et Seconde (Pengantar didaktik bahasa Prancis sebagai bahasa asing dan bahasa kedua). Grenoble: Presses Universitaires de Grenoble.
Duncan-Andrade, Jeffrey M.R., dan morrell, Ernest. 2008. Possibilities for Moving from Theory to Practice in Urban School. New York: Peter Lang. Khususnya bab 3 "Critical Pedagogy in an Urban High School English Classroom", hlm. 49-67.
Fakih, Mansour, Topatimasang, Roem, Rahardjo. Toto. 2001. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: ReaD Books.
Finger, Mathias & Asun, Jose Manual. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa (diterjemahkan Nining Fatikasari dari Adult Education at the Crossroads). Yogyakarta: Pustaka Kendi. freire
Freire, Paulo.1998. Teachers as Cultural Workers: Letters to Those Who Dare Teach the Edge, Critical Studies in Educational Theory. Boulder, Colo, Westview Press. Dikutip dari Sima Sadeghi, “Critical Pedagogy in an EFL Teaching context: An Ignis fatuuts or an Alternatif Approach ?”, Journal for Critical Education Policy Studies, Vol 6, Number 1, May 2008, hlm. 1-10.
              ,1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. (diterjemahkan dari Pedagogy the oppressed oleh Mien Joebhaar dan disunting Dick Hartoko dengan kata pengantar oleh Danuwinata dan Sastrapratedja). Jakarta: Sangkala Pulsar.
, 1984. Pendidikan Kaum Tertindas, (diterjemahkan oleh Utomo Dananjaya. Mansour Faqih. Roem Topatimasang, dan Jimly Asshiddiqie dengan kata pengantar F. Danuwinata), Jakarta, LP3ES, 1984.
, 1975. Leducation, Pratique de la Librete, (terjemahkan dari Educac a o como Pratica da Liberdade, Rio de Janeiro, Editora, 1967). Paris.
, 1970. Pedagogy of the Oppresed. London: Penguin Books.
, 1970. “The Adult Literacy Process as Cultural Action for Freedom”dan"Cultural Action and Conscientization” in Harvard Education Review.
Galisson, Robert (sous la direction). 1980. D’heir a Aujourd’hui; La Adidactique des Langues Etrangere (Dari kemarin hingga hari ini, Paris, Cle International.
Galisson, Robert. 1982. “Plaidoyer pour une rehabilitation de la pedagogie en D.L.E.” (pembelaan untuk rehabilitasi pedagogi dalam Didaktik Bahasa Asing), in Robert Galisson, (sous la direction), D’autres voies Pour la Dicatique des Langues Etrangeres (Jalan lain untuk didaktik bahasa asing). Paris: Hatier-Credif.
Giroux, Henry, A. 1993. “Critical Pedagogy and Cultural Power: An Interview with Henry A. Giroux, Border Crossing. Cultural Workers and the Politics of Education. New York & London: Routledge.
Giroux, Henry, A. 1988. Teacher as Intellectual. Toward a Critical Pedagogy of Learning, New York: Bergin & Garvey.
Giroux, Henry, A.1983. theory and Resistance in Education. A Pedagogy for the Opposition.Massachussets: Bergin & Garvey Publisher.
Giroux, Henry. 1981. Ideology, Culture and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple University press.
Guberina, P et Rivenc, P (sous la direction de). 1958. Voix Image de Freance, Methodes Rapide de francais. Cour Pour debutants (Suara dan Gambar Prancis. Metode Pengajaran bahasa Prancis cepat), Paris, E.N.S. de Saint- Cloud & Kementerian Pendidikan Nasional Prancis.
Holec, Henri, 1989.”Autonomie et apprentissage des langue etrangere” (Otonomi dan Pembelejaran Bahasa Asing), in Bernard Andre, (sous de la direction, Autonomie et enseignement/pembelajaran bahasa asing). Paris: Didier-Hatier
Hottois, Gilbert. 1997. De la Renaissance a la Postmodernite. Une historie de la philosophie modern el contemporaine. Paris: Bruxelles, De Boeck.
Jouvenet, L.-P. 1982. Horizon Politique des Pedagogies Non-Directives, Toulouse, Editions Privat.
Kincheloe, Joe, L. 2007. “Critical Pedagogy in the Twenty-first Century,” in Peter McLaren & Joe L. Kincheloe, (eds.) Critical Pedagogy, Where Are We Now ? New York: Peter Lang Publishing.
Kuntari, Rien, CM. 2008. Timor Timur. Satu Menit Terakhir. Catatan Seorang Wrtawan. Jakarta:Mizan. (Dengan tiga pengantar, masing-masing dari Ali Alatas, Kay Rala Xananan Gusmao, dan Letjen TNI (purn) Agus Widjojo).
Lapassade, G. (penyunting). 1971. L’autogestion pedgogique. Paris: Gauthier-Villars.
, 1997. Groups, Organisations et Institutions. Paris: Gauthier-Villars.
Lobrot, Michel. 1996. La Pedagogie Institutionelle. L’Ecole vers l’autogestion, Kata Pengantar dari J. Ardoino. Paris: Gauthier-Villars.
McLaren, Peter. 1988. “Foreword: Critical Theory and the Meaning of Hope”. In Henry Giroux, Teachers as Intellectuals. Toward A Critical Pedagogy of Learning, New York: NY., Bergin & Garvey.
Norton, Bonny dan Toohey, Kellen (penyunting). 2004. Critical Pedagogied and Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Nuryatno, M. Agus. 2008 mazhab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi Pengetahuan Poitik dan Kekuasaan. Yogyakarata: Resist Book.
Pennycook, Alastair. 2001. Critical Applied Linguistic: A Critical Introduction. New Jersey & London: Mahwah.
Pennycook, Alastair, “The Concept of Method, Interestde Knowledge, and Politics of Language Teaching”, TESOLQUARTERLY, Vol. 23, No. 4, December, 1989, hal. 589-618.
Puren, Christian. 1994. La didactiquedes langues etragere a ala eroise des methods. Essai sur l’eclectisme ( Didaktik bhasa asing di persilangan metode-metode pengajaran bahasa asing. Usaha ke ekletisme). Paris: Credif-Didier.
Rikowski, Glenn, Critical Pedagogy and the Constitusion of Capitalist Society, a paper prepated for “ Migrating University: From Goldsmiths to Gatwick Conference. Panel 2, “The Challenge of Critical Pedagogy”, Goldsmiths College, University of London, 14th September , hal. 1, on line at http://www.flowideas.co.uk/?page=articlesc=Critical%20Pedagogy%20and%20Capitalism.
Sadeghi, Sima “Critical Pedagogy in an EFL Teaching context: An Ignis fatuuts or an Alternatif Approach ?” , Journal for Critical Education Policy Studies, Vol 6, Number 1, May 2008, hal. 2.
Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-structuralisme and Postmodernism. Athens: University of Chicago Press.
, 1993. ”Education is politic. Paulo Freire’s critical pedagogy”, in Peter McLaren and Peter Leonard, Pau;o Freire. A Critical encounter. London & New York: Routledge.
, Empowering Education. Critical Teaching for Social Change. Chicago: University of Chicago Press.
, 1980. Critical Teaching & Everyday Life. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Shor, Ira & Paulo Freire, Menjadi Curu Merdeka. Petikan Pengalaman (terjemahan dari A Pedagogy for Libertion. Dialogues on Transformating Education, 1985), Yogyakarta, LKiS, 2001.
Sustrisno, Mudji. 1995. Pendidikan Pemerdekaan. Jakarta: Penerbit Obor.
Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.











[83]  Teman-teman guru yang saya lontarkan pertanyaan tersebut tidak satupun yang bukan tamatan lembaga pendidikan ltenaga kependidikan yang dahulu disebut  IKIP.
[84]  Sesungguhnya di ranah pendidikan Indonesia penamaan pedagogik kritis beragam. Sekalipun begitu dapat dikatakan keragaman penamaan tersebut pada dasarnya meengacu ide pendidikan menurut Paulo Freire. Di LPTK saya bisaa menyebut H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan. Pengantar Pedagogik Ttanformatif untuk Indonesia sedangkan Agus Nuryanto menggunakan konsep “pendidikan kritis” lihat M. Agus Nuryanto,Mazhab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta, Resist Book, 2008; sedangkan di ranah LSM, Mansour Fakih dan kawan-kawan, menggunakan konsep “pendidikan populer” dan “pendidikan kritis”,lihat Mansour Fakih, Roem  Topatimasang, Toto Raharjo, Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis ,Yogyakarta,ReaD books,2001; penamaan “pendidikan pendidikan pemerdekaan” dipakai mudji sutrisno,lihat Mudji sutrisno,pendidikan pemerdekaan, Jakarta,Penerbit Obor,1995; Sedangkan dalam buku-buku terjemahan yang membahas pendidikan Freire tampak penamaan pedagogi kritis digunakan, lihat Mathias finger & Jose Manual Asun,Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa (diterjemahkan Nining Fatikasari dari Adult Education at the Crossroad), Yogyakarta, Pusaka Kendi,2004,  hlm. 96-100. Di dalam tulisan ini,saya lebih menggunakan penamaan pedagogik kritis, seperti yang digunakan Tilaar. Konsep pedagogik mengacu pada tidak saja aktifitas di dalam sekolahh, tetapi  di dalam keluarga,atau (dan) dalam kehidupan sosial. Dengan demikian penggunaan
[85]   Lihat Bonny Norton dan Kellen Toohey (Penyunting), Critical Pedagogies and Language Learning ,200, Cambridge, Cambridge University Press ; Alastair Pennycook, Critycal Applied Linguistic : A critical Introduction ,2001 ,Marwah .New Jersey & London; Alastair Pennycook, “The Concept of Method, Interested Knowledge, 1989, hlm. 589-618. Lihat juga khususnya Alastair Pennycook, Critical Applied Linguisticcs A Critical Introduction, Mahwah, Lawrence Erlbaum Assosiate, 2001
[86]   Nortoon dan Toohet op.cit., hlm. 2
[87]   Paulo Freire, Teachers as cultural workers: letters to those who dare teach the edge, critical studies in education theory, Boulder, Colo, Westiew Press,1998, hlm. 75, dikutip dari Sima Sadeghi,”Critical Pedagogy in an EFL Teaching context: An Ignis fatuus or an Alternatif Aproach ?”, Journal for Critical Education Policy Studies, zol 6, Number 1, May 2008 hlm 2.
[88]   Suresh Canagarajah, Resisting Linguistic Imperialism in English Teaching, Oxford, Oxford University Press,1999, hlm. 13 -19
[89]   Ibid., hlm.  103.
[90]   Jika kita perhatikan misalnya skripsi para mahasiswa di Jurusan Bahasa Asing: Prancis,Inggris,Jerman di UNJ, sulit untuk menemukan Pedagogik Kritis yang menjadi landasan pendidikan para mahasiswa tersebut. Begitu juga jika kita amati disertasi para tamatan sekolah pasca sarjana jurusan bahasa UNJ.
[91] Yves Bertard Theories contemporaines de l’education, Lyon &Montreal,Chronique Sociale&Editions Nouvelles,1998,cetakan keempat
[92]  Yves Bertrand,op.cit.,hlm.166.
[93]  Lihat Bertrand,Ibid; Lihat juga Remi Hess,La pedagogie instituonnelle ,paris,Jean-Piere Delarge,1975;L.-P.Jouvenet,Horizon politique des pedagogies non-directives,Toulouse,Editions Privat,1982. Pedagogik Institusional ini adalah suatu “aliran” pendidikan yang dikembangkan sarjana-sarjana pendidikan Prancis,seperti Georges Lapassade,Rene Lourau,Michel Lobrot,untuk hanya menyebutkan beberapa di antaranya. Aliran pendidikan prancis ini,jika dapat disebut seperti itu,berkembang di tahhun 6-an hingga 7-an di Prancis dan Quebec. Dalam aliran pendidikan tersebut,para pengikutnya mengelompokkan dirinya berdasarkan sumber-sumber utama yang berbeda(Bertrand,ibid.,hal.168). Misalnya Georges Lapassade dan Rene Lourau berada di sisi teori yang disebut L’autogestion pedagogique (Oto-kelola Pedagogies),dengan konsep-konsep Marx sebagai sumber utama(Bertrand,ibid., hlm.167). Dalam praktik,teori pendidikan ala prancis ini berusaha meniadakan hubungan pembinaan (pendidikan) antara yang mengajar dan diajar antara yang dominan dan yang didominasi. Oleh karena peniadaan hubungan pembinaan (baca peniadaan hubungan pendidikan)menjadi karakteristik oto-kelola pedagogis,maka”siswa atau mahasiswalah yang memutuskan pendidikan pendidikan mereka dan mereka juga yang menjalankannya,menyelenggarakannya”(G.Lapassade(penyunting),L’autogestion pedagogique, paris, Gauthier-Villars, 1971, hlm.vii; lihat juga Bertrand,Ibid.,hlm.168-169). Oleh karena itu,”Oto-kelola pedagogis dengan demikian tidak bertujuan memperbaiki situasi pedagogis,tetapi mengubah hubungan adu kekuatan di dalam masyarakat (Bertrand,Ibid.,hlm.168). Dalam pengertian ini, Pedagogik institusional tidak hanya berlaku atau terbatas dalam ranah persekolahan,tetapi melampaui batas sekolah,yaitu masyarakat. Dalam pengertian ini teori pendidikan yang disebut oto-kelola pedagogis ini berfungsi untuk merealisasikan oto-kelola sosial(autogestion sociale) (Bertrand,Ibid.,hal.170)
[94]   Pedagogik Pemebasan (pedagogie de la liberation) diterjemahkan secara bebas oleh Bertrand di empowering education, lihat Bertrand op.cit.,hlm 179.Tetapi jika kita lebih jauh empowering education adalah konsep yang dibangun Ira Shor, lihat Ira Shor, empowering education. critical Teaching for Social Change, Chocago, University of Chicago Pres, 1992. Oleh karena itu ciri-ciri Pedagogik pembebasan yang dikemikakan Bertrand adalah apa yang disebut Ira Shor “ agenda  untuk pedagogik pembebasan” ( adenda for empowering education ) Ira Shor (hlm 17)
[95]   Bertrand,op cit., hlm. 167. Groupe de pedagofie instittionelle (grup pedagogik institusional) bwrdiri tahun 1963. Dan sejak tahun 1964, dikelola seminar dan loka karya di Royaumont. Perhatkan terbitan buku para pendukunga berkembangnya pedagogik institusional, misalnya, Michel Lobrot, la pedagogie instiomnelle.L’Ecole versl’autogestion, kata pengantar dari J. Ardoino, Paris, Gauthier-villars,1966; G. Lapassade, Groupes, organisations et institutions, Paris, Gouthier-villars,1957; G. Lapassade,(penyunting), L’autogestion pedagogieque,Paris,Gauthier-Villars, 1971; remi hess, Lapedagogie institutionnelle,aris,Jean-pierre Delarge,1975.
[96]    Perrhatikan tahun terbit beberapa buku dan artikel Paulo Freire dalam bahasa Inggris. Paulo Freire, pedagogy of The Oppresed,  London, Penguin Books,1970.dua artikrl the Adult Literacy Process as Cultural Action for Feedom”  dan “Cultural Action and Comcientization’ terbit di Horvad Education Review,1970. Lihat juga Henry Giroux, sebagai pelopor perdagogik di Amerika Utara, Ideology Culture and the Process of Scholing, philadelphia, Temple University Press, 1981; Giroux, Theory and Resistance in Education. A Pedgogy for The Opposition, Masschussett, Bergin & Garvey Publisher, 1983; Ira Shor , critical Teaching & Everyday Life, Chicago & London, The University of Chocago Press, 1980. Menarik untuk dikemukakan di sini bahawa satu dasawarsa selain kita mulai melihat terbit buku-buku dari sarjana-sarjana pendidikan Amerika yang bertumpu pada atau diinspirasikan dari pemikiran Paolo Freure, kita juga di laporkan bahwa pedagogik kritis telah mempengaruhi tidak saja praktik pedagogis, tetapi juga pendidikan guru (Joe L. Kincheloe, “Critical Pedagogy in the Twenty-first Century,” in Peter McLaren & Joe L. Kincheloe, (eds)  Critical Pedagogy. Where Are We Now? New York, Peter Lang Publishing, 2007, hlm. 13. Bahkan perguruan tinggi di Amerika Utara telah menularkan program-programkhusus pedagogi kritis (lihat Geln Rikowski, Critical  Pedagogy and the Constition of Capitalist Socienty, a paper prepared for “Migratung University: From Goldsmits to Gotwick Conference”.Panel 2, “The Challege of Critical Pedagogy”, Goldsmith College, University of  London, 14th september, hlm. 1, on line athttp://www,flowideas.co.uk/?page=articlesc=Critical%20  Pedagogy%20and%Capitalism.
[97]    Pernyataan ini dikemukakan tidak berarti pedagogik institusional yang khas Prancis”mandeg”. Oleh karena suatu teori pendidikan tidak saja lahir dari. Tetapi selalu berada dalam ruang sosial yang dinamis maka dengan sendirinya teori tersebut juga akan berubah dan bergerak. Seperti kita ketahui di akhir dekade dikembangkan Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron. Pemikiran sosiolog kritis tersebut mau tidak mau telah mempengaruhi ilmu-ilmu pendidikan Prancis, termasuk  pedagogik institusional. Lihat Bertrand, op.cit., hlm. 172-173.
[98]    Glenn Rikowski, op.cit. hlm.1.
[99]    ibid.., hlm 1.
[100]  H.A.R Tilaar,Pedagogik Kritis: Perkembangan, subtansi, dan perkembangannya di Indonesia, 2010.Melalui makalah setebal 55 halaman yang hanya ditulis untiu kalangan terbatas ini, sang guru besar pedagogik barisan depan komunitas pedagogik ndonesia ini telah mencoba menguraikan secara singkat perkembangan pedagogik kritis yang dimulai dari Eropa (Jerman), kemudian Amerika (Amerika Serikat dan Brazil) dan diakhiri dengan Asia dan Australia. Yang menarik dibagian akhir makalah beliau adalah ide yang menyatakan bahwa walaupun kita di tanah air belum lahir pedagogik kritis (dalam pengertian yang biasa dipakai tentunya) tetapi kita telah memiliki tanda-tanda atau untuk menggunakan unkapannya, telah ada rintisan pedagogik kritis. Dengan kata lai, kita sesungguhnya telah memiliki jalan kecil yang terbuka atau pembuat jalan Romo Mangunwijaya. Hemat saya perlu diberi catatan khusus untuk Profesor belakangan ini, yang dilakukan di kelompok kajian Pedagogik Transformatif (suatu kelompok kajian pendidikan yang didirikan Lady Paat dan didukung Profesor Tilaar). Kami merasakan amat sangat dorongannya kepada kami agar Pedogogik Kritis dapat dilahirkan di tanah air kita.
[101] Sekalipun berbedaa gaya bahasa, mereka hampir dapat dikatakan sama-sama menggunakan bahasa yang jelimet. Kejelimetan bahasa tersebut tidak jarang menjadi objek kritik para guru khusunya. Persoalan ini juga menjadi diskusi para pedagogik kritis, lihat Henry Giroux, “Critical Pedagogy and Curtural Power: An Interview with Henry A. Giroux”, in Henry Guiroux, Border Crossing. Curtural Workers and The politics of Education, New York & London, Routledge, 1993, hlm. 150-151
[102]  Lihat Bertrand op. cit,. Hlm. 174-194, khususnya hlm. 178-183 dan 187-194.
[103]  Lihat Peter McLaren. “Foreweord: Critical Theory and the Meaning of Hope”, in Henry Giroux, Teachers as Intellectuals. Toward A Critical Pedagogy of Learning,  New York, NY., 1988, hlm. ix-xx.
[104]  Ira Shor, op. cit.
[105]  Uraian ciri-ciri pedagogik kritis ini dirangkum dari beberapa tulisan Freire (1970, op. cit., 1971; op. cit.), Ira Shor (1992, op. cit; When Student Have Power: Negotiating Authority in a Critical Pedagogy, Chicago, University of Chicago Press, 1996). Yves Bertrand, op. cit; Peter McLaren, Life in School. an Introduction to Critical Pedagogy in the Foundation of Education, Toronto, Irwin, 1994, cetakan kedua (1989 cetakan pertama).
[106]  Lihat Paulo Freire,  Pedagogy of oppressed, New York, Penguin Books, 1970, khususnya Bab 3.
[107]  Ira Shor, critical Teaching & Everday Life,op. cit., ;  lihat juga Ira Shor, Empowering Education. Critical Teaching for Social Chenge & London, The University of Chicago Pres, 1992, khususnya bab 5;
[108]  Paulo Freire, Leducation, pratique de la liberte, op.cit., hlm. 112.
[109]  Ibid ., hlm 113.
[110]  Ira Shor, Whwn Student Have Power: Negotiating, Authority in a Critical Pedagogy Chicago, University of Chicago Pres, 1966
[111]  Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, op.cit., hlm. 73-74.
[112]  Dikutip dari Bertrand, op.cit., hlm. 176.
[113]  Paulo Freire L’education, partique de la liberte,op.cit.,hlm.112.
[114]  Paulo Freire,  ibid., hlm. 113.
[115]  Ira Shor & Paulo Freire, Menjadi Guru Merdeka. Petikan Pengalaman (terjemahan dari  A Pedagogy  for Liberation. Dialogues on Transformating Education). Yogyakarta, LkiS, 2001. hlm. 253.
[116]  Bertrand, op.cit., hlm. 178.
[117] Untuk penjelasan menarik kaitannya dengan pendidikan yang  membebaskan,memerdekakan (liberating education)  versus pendidikan yang mrnjinakan (domesiticating education), lihat, Ira Shor, “Education is Politics. Paulo Freire’s critical pedagogy”,  in Petrer Mclaren & Peter Leonard, Paulo Freire. A Critical encounter, hlm. 25-35; dan Ira Shor & Pau; Freire, op. cit.
[118]  Bertrand, op.cit., hlm. 178.
[119]  Ira Shor, Empowering Education, op. cit. Hlm 31-54.
[120]  Ibid.
[121]  Ibid., hlm 39-41.
[122]  Lihat Ira Shor, Education is politic. “Paulo Freires’s critical pedagogy”, in  PeterMclaren and Peter Leonard, Paulo Freire. A Critical encounter, London & New York, Routledge, 1993, hlm. 25-35
[123] Dikutip Shor, “Education is politic”,  Ibid., hlm. 27.
[124] Lihat Shor, Empowering Education, op.cit., hlm. 112-134.
[125] Lihat penjelasan habitus yang dianggap dapat diakses banyak orang, Pierre & Loïc J.D. Wacquant, Réponses. Pour une antropologie réflexive, Paris, Le seuil, 1992.
[126] Shor. Empowering education, op. cit. Shor memberti contoh desosialisasi kelas beberapamata pelajaran di SMA, di antaranya mata pelajaran sejarah, lihat hlm. 118-123
[127]  Shor, “Education is politic”, op cit., hlm. 32-33.
[128]  Henry A. Giroux,  Teacher as Intellectual. Toward a Critical pedagogy of Learning, New York, Bergin & Garvey, 1988, p. 48-53
[129]  Ibid., hlm. 48.
[130]  Mengenai uraian singkat melepaskan Timtim dan peristiwa setelah lepasnya Timtim di Timtim, lihat Rien Kuntari, CM., Timor timur satu menit terakhir. Catatan seorang wartawan, jakarta, Mizan, 2008 (Dengan tiga pengantar, masing masng dari Ali alatas, Kay rala xananan Gusmao, dan letjen TNI (purn.) agus widjojo)
[131] Ibid., hlm. 40-51
[132]  Ibid., hlm. 49.
[133]  Paulo Freire, pendidikan, pembebasan, perubahan sosial. Pengantar Danuwinata & Sastrapratedja (diterjemahkan dari Pedagogy of the Oppressed oleh Mien Joebhaar dan di sunting Dick Hartoko dengan kata pengantar oleh Danuwinata dan Sastrapratedja), 1984, jakarta, sangkala pulsar. Kita sebenarnya mempunyai dua terjemahan buku Freire yang sudah klasik. Terjemahan lainnya, berjudul pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1984 (diterjemahkan oleh utomo Dananjaya. Masour Faqih. Roem Topatimasang, dan jimly Asshiddiqie dengan kata pengantar F. Danuwinata).
[134]  Dalam uraian di sini yang dimaksud dengan pendidikan bahasa asing pada dasarnya adalah pengajaran bahasa prancis sebagai bahasa asing
[135]  Konsep didaktik, sekarang ini sepengetahuan saya sudah sangat jarang digunakan dalam konteks pendidikan dan keguruan di indonesia. padahal di skitar jawa tengah pertama hingga awal tengah kedua dekade 1970 di IKIP jakarta dalam program lembaga tersebut tercantum mata kuliah bernama Didaktik Umum yang merupakan mata kuliah umum wajib bagi para mahasiswa. Setelah akhir paroh kedua dekade 1970 nama didaktik telah hilang dalam kurikulum sekolah yang mendidik guru tersebut. Konsep didaktik sendiri di eropa, khususnya prancis masih tetap digunakan. Lihat misalnya judul-judul buku yang menjadi acuan para guru bahasa prancis sebagai bahasa asing di universitas khusunya untuk hanya mwnyebut beberapa diantaranya, seperti Robert Galisson (sous la direvtion), D’hier a aujourd’hui; La adidactique deslangues eurangere (dari kemarin hingga hari ini, Paris, Cle international.1980; Daniel Coste (sous la direction) ,Ving ans l’evolutionde la didactiques des langues (1968-1988), ( Dua puluh tahun evolusi didaktit bahasa ), Paris , Hatier-Didie, 1994; Christian Puren, La didactique dre languesetragere a la croise des methodes. Essai sur l’eclectisme(didaktit bahasa asing di persilangan metode-metode pengajaran bahasa asing. Usaha ke ekletisme), Paris, Credif-didier, 1994; Jean-Pieere cuq et Isabelle Gruca, Cours de didactique du francis etrangere et seconde  (pengantar didaktik bahasa Prancis sebagai bahasa asing dan bahasa kedua), Grenoble ,Presses Universitaires de Grenoble, 2002.   
[136]  Lihat Claude Germain, evolution de lenseignement des langues: 5000 ans d’histoire (5000 tahun pengajaran bahasa asing), Paris, CLE Internarional, 1993. Cloude Germain  melaporkan pengajaran bahasa asing di abad ke XX atau di sebutnya metode-metode pengajaran bahasa asing dalam “era ilmiah” Metode perngajaran asing di era tersebut dibagi menjadi tiga jenis besar metode pengajaran bahasa asing. Pertama yang merupakan metode-metode perngajaran berdasarkan linguistik struktural dan psikologi behavioris, di antaranya adalah metode SGAV (struktur Global Audio Visual)” kedua, metode pengajaran bahasa asing yang berdasarkan pada linguistik, di antaranya metode komunikatif; ketiga, metode-metode pengajaran bahasa asing yang bertumpu pada psikologi, di antaranya metode komunoter, metode sugestopedia.
[137] Lihat Jacques Cortes etJosyane Cortes, “ une taxonomi de la recherche en didactique des langues” (Taksonomi penelitian didaktik bahasa), in Jacques Cortes et al., Une introduction a la Recherche Scientifique en ddactique des Langues (pengantar  penelitian didaktik bahasa), Paris Didier-Credif, 1987, hal 11-20; Jacques Cortes,” les origines de la modernite en didactique des langues” (asalmodernitas dalam didaktik bahasa), in Jaques Cortes et al.,ibid., hlm. 23-51; christian Puren,op.cit., hlm.18.
[138]  Buku-buku pengajaran bahasa prancis sebagai bahasa asing yang merupakan turunan dari aliran atau pendekatan stuktur-global-visual (SGAV)  adalah P.Guberina et P. Rivenc (sous la direction de) voix imge de france. Methodes rapidede francais. Cour pour debutans ( suara dan gambar Prancis. Metode pengajaran bahasa prancis cepat), Paris E.N.S de saint-cloud & kementrian pendidikan Nasional Prancis , 1958; De ViveVoix, Paris, Ddier, premierepartie ( bagian pertama); La France en Direct. Buku-buku pelajaran bahasa prancis sebagai bahasa asing tersebut diakhir paroh pertama dekade 1970 hingga di awal parohpertama dekade 1080 menjadi buku-buku pegangan di beberapa jurusan bahasa prancis LPTK , di antaranya adalah IKIP Jakarta dan IKIP Bandung. Bahkan La France en Direct menjadi buku pegangan untuk beberapa SMA di Jkarta yang memiliki jurusan bahasa. Untuk penjelasan cukup rinci mengenai SGAV, lihat Henri Besse, Methodes et pratiques des manuels de la langue (analisa teoritis metode-metode pengajartan bahasa prancis dan buku pengajaran bahasa prancis sebagai bahasa asing), Paris, Didier-Credif,1964.
[139]  Claude Germain, op. cit., hlm. 137.
[140]  Kritik terhadap linguistik strukturalis yang menjadi tumpuan penfajaran bahasa asing yang muncul di dekade 1970 dengan demikian tidak berkaitan dengan munculnya para filsuf poststuralis, seperti Jacques Derrida yang pandangannya berbeda dari apa yang dikemukakan Saussure. Bagi Derrida signifiant (dalam bahasa Inggris signifier) tidak langsung berkaitan dengan signifie (dalam bahasa Inggris signified), dan signifie atau “konsep” terputus dengan reference (“acuan”). Signifiant bagi Derrida, tidak mengacu pada signifie tetapi menghasilkan kembali signifiant. Dengan demikian makna bukanlah sesuatu yang pasti, tetapi sesuatu yang sangat tidak tetap, dalam pengertian hadir (present) dan tidak hadir (absent). Untuk penjelasan lebih rinci mengenai Derrida, lihat Gilbert Hottois, De la Renaissance alq lq Postmodernite. Une histoire de la philosophie moderne et contemporaine, Paris, Bruxelles, De Boeck, 1997, hal. 403; juga Madan Sarup, An Introductory Guide to Post-structuralisme and Postmodernism, Athens, University of Georgia Press, 1993, hlm. 33.Ibid., hlm.201.
[141]  Ibid., hlm. 201.
[142]  Hendri Holec, “Autonomie et  apprentissage des langue etrangere” (Otonomi dan pembelajaran bahasa asing), in Bernard Andre (sous de la direction, Autonomie et enseignement/apprentissage des langues etrangeres (Otonomi dan pengajaran/pembelajaran bahasa asing), Paris, Didier-Hatier, 1989, hlm. 31-33; Holec, “I’autonomisation de I’appenant en structur institutionnelle”, in Bernard Andre, Ibid., hlm. 125-132.
[143] Christian Puren, op. cit. hlm. 118-174. ditaktik multidimensional adalah apa yang disebut “pedagogik negosiasi” yang dikembangkan R. Richterich, yaitu penentu materi dan kegiatan pembelajaran dinegosiasikan antara pembelajar dan pengajar (hlm.171-172). Sedangkan didaktik multidimensional sendiri merupakan turunan dari apa yang disebut Puren didaktik kompleks (didactique complexe), didaktik yang dilandasi atas epistemologi Edgar Morin. Mungkin salah satu pemikirannya yang menarik dipahami para guru bahasa asing adalah ajakan untuk “tetap memegang dengan kuat rasionalitas (rationalite) dan menolak rasionalisasi (rationalisation)”. Karena yang terakhir menurut morin menutup realitas dalam suatu sistem yang koheren, yang berkaitan secara logis. Sehingga yang menyangkal sistem koheren tersebut akan disingkirkan dilupakan karena dilihat sebagai suatu ilusi. Padahal sistem yang koheren tersebut, menurut Morin, disusun berdasarkan data-data yang parsial, (hlm. 120-121).
[144]  Lihat catatan kaki no. 11.
[145]  Robert Galisson, Plaidoyer pour une rehabilitation de la pedagogie en D.L.E.” (pembelaan untuk rehabilitasi pedagogi dalam Didaktik Bahasa Asing), in Robert Galisson, (sous la direction), D’autres voies pour la dicatique des langues etrangeres (Jalan lain untuk didaktik bahasa asing), Paris, Hatier-Credif, 1982, hlm. 13-38.
[146]  Lihat Alastair Pennycook, Critical Applied Linguistic: An Critical Introduction, Mahwah, New Jersey, Lawrence Erlbaum, 2001, hlm. 100. Ini mengingatkan kita pada penelitian Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron, lihat Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron, La reproduction. Elements pour une theorie dus systeme d’enseignement, (Reproduksi. Unsur-unsur teori pendidikan) Paris, Minuit, 1970.
[147]  Lihat Ira Shor, Empowering Education, op. cit, hlm. 42-44. Pedagogik kritis ini mengurai secara singkat apa yang dilakukan Auerbach dan Wallerstein, pendidik bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Kedua pendidik bahasa tersebut di dalam kelas bahasa Inggris sebagai bahasa kedua menggunakan “pelontaran masalah” untuk mengajak para siswa mereka mempertanyakan hubungan kehidupan mereka dengan masyarakat. Atau dengan kata lain kedua pendidik bahasa tersebut menunjukkan bahwa guru sebagai “pelontar masalah” meletakkan belajar dalam budaya, kondisi siswa. Lihat juga Alastair Penycook, op.cit, hlm. 100-104. Pada bagian Pennycook menguraikan secara singkat beberapa deskripsi singkat penelitian bahasa asing dan kedua yang berperspektif Freirian atau berpendekatan pedagogik kritis. Melalui kelas bahasa asing yang berperpektif pedagogik kritis, para guru dapat dimulai dengan eksplorasi yang kritis mengenai konteks pembelajar daripada konsep yang dianggap perlu diketahui. (hlm. 102).
[148]  Lihat Jeffrey M.R Duncan-Andrade dan Ernest Morrell, Possibilities for Moving from Theory to Practice in Urban School, Peter Lang, 2008, khususnya bab 3 “Critical Pedagogy in a Urban High School English Classroom”, hlm. 49-67. Tulisan ini di terbitkan juga dalam judul “Critical Pedagogy and Popular Culture in an Urban Secondary English Classroom” in Peter McLAren & Joe L. Kinvheloe (eds.), Critical Pedagogy. Where Are We Now?, New York, Peter Lang, 2007, hlm. 183-199. Dua peneliti-pendidik tersebut mengaplikasikan pedagogik kritis dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa pertama di salah satu SMA di Oakland, Utara California. Yaitu dalam praktik pedagoginya, mereka mengajak para siswa-siswanya membahas buku Kozol, Savage Inequalities dan dilm stand and deliver. Dari buku Kozol para siswa melihat hubungan antara pendapatan orang tua, ras, dan kualitas sumber pendidikan, dan dari film yang ditayangkan para siswa melihat suatu keberhasilan di dunia persekolahan. Tujuan memasangkan film dan buku, menurut Duncan-Andrade dan Morell adalah agar para siswa memiliki pemahaman bahwa sekalipun siswa hidup dalam realitas sekolah yang “keras”, tetap memiliki posibilitas untuk memtransform dan melampaui realitas tersebut (hlm. 190).
[149] Paling tidak melalui timbangan buku yang ditulis Setiono Sugiharto, di Jakara Post 14 Maret 2010, kita mengetahui bahwa telah hadir pedagogik kritis di dalam ranah pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Pelaku pedagogik kritis tersebut adalah Joseph Ernst Mambu yang menetap di Salatiga. Sayang saya tidak memperoleh informasi lebih banyak tentang yang dibahas Sugiarto.
[150] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan. Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002.. Lihat juga, H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang, Indonesiatera, 2003; H.A.R. Tilaar, Kredo Pendidikan (My Pedagogical Credo), Jakarta, Lembaga Manajemen Universitas Negeri Jakarta, 2009.

sumber : Pedagogik Kritis Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed - Jimmy Ph. Paat - Lody Paat


Komentar