Makalah Tentang Pedagogi Kritis Menurut Paulo Freire

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, seseorang dapat mengaktualisasi dirinya dengan mengembangkan potensi yang dimilik pasti ada yang mendidik dan yang dididik. Idealnya, seorang pendidik harus mampu menciptakan suasana belajar yang memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik. Metode dalam mengajar pun harus bervariasi disesuaikan dengan konten materi yang akan disampaikan, sehingga peserta didik bisa dengan mudah mengkonstruksi pengetahuannya dengan senang tanpa merasa terbebani.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan, perlu adanya interaksi dan komunikasi yang baik antara pendidik dengan peserta didik. Proses belajar yang dialogis dapat memacu kreativitas peserta didik dan menstimulus keberanian untuk menyatakan gagasan atau ide yang dimilikinya. Pendidik pun perlu untuk memberikan respon yang positif terhadap apa yang disampaikan oleh peserta didik sebagai bentuk apresiasi dan penanaman nilai percaya diri. Perilakui ini tentunya memerlukan tindak lanjut sebagai wujud aktualisasi diri.
Dalam praktiknya, di Indonesia masih banyak ditemui pelaksanaan pendidikan yang meletakkan peserta didik sebagai objek, yaitu objek penerima pengetahuan. Pengetahuan diumpamakan sebagai barang jadi yang siap diberikan kepada peserta didik, sehingga konsep pengetahuan yang didapat adalah hasil penalaran sendiri, bukan pengetahuan bentukan. Untuk memecahkan atau mengatasi kesenjangan antara ilmu mendidik dengan praktik mendidik dibutuhkan pemikiran kritis dan usaha nyata sebagai bentuk kesadaran pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1.     Bagaimana Riwayat hidup Paulo Freire?
2.    Apa isi teori Paulo Freire?
3.    Bagaimana implikasi teori Paulo Freire dengan praktik pendidikan masa kini?
C. Tujuan
1.    Menjelaskan riwayat hidup Paulo Freire.
2.    Mengetahui isi teori Paulo Freire.
3.    Menjelaskan implikasi teori Paulo Freire dengan praktik pendidikan masa kini
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Riwayat Hidup Paulo Freire
Paulo Freire lahir tanggal 19 September 1921 di Recife,Brazil. Freire hidup di tengah-tengah hiruk pikuk Perang Dunia I yang marak terjadi penindasan dan kapitalisme terhadap masyarakat golongan bawah.
Dalam Buku Mengenal Filsafat Pendidikan karya Rukiyati dan L. Andriyani, dikatakan bahwa pedagogi kritis diperkenalkan oleh Paulo Freire (1921-1997), seorang pendidik dari Brazil yang sangat terkenal. Freire memiliki gelar doktor ilmu sejarah dan filosofi pendidikan. Awalnya, Freire mengambil studi ilmu hukum dan setelah lulus berpraktik sebagai pengacara tetapi tidak lama. Dalam waktu singkat, Freire berubah profesi menjadi seorang pendidik untuk masyarakat bawah yang disebutnya kaum tertindas (O’neil, 2002:655)
Martin Carnoy (via Freire, 2001:7), mengatakan Paulo Freire adalah pendidik yang paling penting dalam paruh kedua abad keduapuluh. Ia juga seorang aktivis politik; seorang progresif yang bersemangat dan penuh kepercayaan bahwa belajar tidak dapat dipisahkan dari kesadaran politik dan kesadaran politik tidak dapat dipisahkan dari tindakan politik. Ia menampilkan diri sebagai seorang demokrat yang tidak kenal kompromi dan seorang pembaru radikal yang gigih. Paulo Freire hidup dalam masa pemerintahan militer, pembuangan, dan bahkan pernah memegang kekuasaan politik sebagai menteri pendidikan Sao Paulo. Dalam jabatan itu, Freire membuat kebijakan untuk pendidikan beratus-ratus ribu siswa. Semua pengalamannya ini, justru memperbesar komitmennya kepada orang-orang yang tersingkir, yang tak berdaya, yang terpinggirkan, yang lapar, dan yang buta huruf.
Di tahun 60-an, Freire terlibat aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf yang masih meliputi jutaan rakyat di negerinya. Lantaran ia juga memberikan pendidikan agar rakyat miskin Brazil jadi “melek politik”, ia memperoleh banyak tantangan dari orang-orang yang menudingnya “menghimpun kekuatan politik”. Perebutan kekuasaan secara militer terjadi di Brazil pada tahun 1964; Freire terusir dan menetap  Chile, hingga tahun 1979 dan ia belum memperoleh izin untuk kembali ke Brazil. Tahun 1970, Freire diserahi jabatan sebagai penasihat di Kantor Urusan Pendidikan Dewan Gereja Sedunia di Genewa, Swiss. Teori-teori pendidikan Freire telah dikaitkan dengan gerakan teologi pembebasan yang marak di Amerika Latin karya-karyanya antara lain adalah sebagi berikut.
1.    Education: the Practice of Freedom (Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan, 1976)
2.    Education for Critical Consciousness (Pendidikan bagi Kesadaran Kritis, 1973)
3.    Pedagogy of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas, 1970)
4.    Cultural Action for Freedom (Aksi Kebudayaan demi Kebebesan, 1970) (O’neil, 2002:656).
B.  Isi Teori Paulo Freire
Paulo Freire mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan conscientizacao (dari bahasa Portugis, berarti penyadaran). Conscientizacao bukan teknik untuk transfer informasi atau untuk pelatihan keterampilan tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu memecahkan masalah. Conscientizacao mengemban tugas pembebasan yaitu penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Pendidikan harus dapat menyadarkan kaum tertindas agar mempunyai kesadaran kritis. Paulo Freire mengungkapkan tiga kesadaran.
1.    Kesadaran magis (semi-intransitif)
Kesadaran  magis adalah individu yang tidak melawan atau mengubah realitas hidupnya, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Mereka menyalahkan penguasa dan menyerahkan nasib di tangan pemimpin. Orang-orang tidak mampu mengubah keadaan serta tidak mampu melihat kebenaran yang mendasar bahwa kehidupan tidak pernah berubah.
2.    Kesadaran naif
Pada tingkat kesadaran ini, individu sudah mengetahui penyebab keadaan tertindas itu namun mereka belum mau beraksi. Mereka menyederhanakan masalah dengan menimpakan masalah kepada individu lain bukan pada sistem. Sebenarnya mereka sudah mengetahui apa yang ideal terjadi namun belum ada aksi nyata. Mereka memiliki kecenderungan berkelompok dan beradu mulut daripada berdiskusi.
3.    Kesadaran kritis
Pada tingkat kesadaran ketiga ini orang mampu menafsirkan secara mendalam permasalahan yang dihadapinya. Orang sudah mengetahui penyebabnya, tidak menyalahkan individu-individu lagi, dan lebih mengedepankan dialog dari pada beradu mulut saling menimpakan kesalahan. Orang-orang pada tingkat kesadaran kritis tidak mau menyerupai penindas, mereka mempertahankan entitas mereka, menjadi diri sendiri sebagai orang yang jujur dan unik terhadap tradisi dan kebudayaan yang dimiliki.
Selain tiga tingkat kesadaran tersebut, Paulo Freire memperkenalkan pula adanya kesadaran fanatik, yaitu distorsi yang terletak di antara kesadaran magis dan kesadaran kritis.
C.  Implikasi Teori Paulo Freire Dengan Praktik Pendidikan Masa Kini
Seperti yang dikatakan di atas, bahwa Freire hidup dalam nuansa Perang Dunia I yang diwarnai oleh fenomena penindasan terhadap masyarakat golongan bawah. Kondisi tersebut melatarbelakangi lahirnya teori  tentang tingkat kesadaran. Pada masing-masing tingkat, terdapat implikasinya dengan pendidikan, utamanya pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar.
Di tingkat kesadaran yang pertama, yaitu kesadaran magis, di mana orang tidak mampu mengaitkan faktor yang satu dengan faktor yang lain sehingga cenderung menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Kesadaran macam ini akan mengarahkan pendidikan kepada pelaksanaannya yang bergaya ‘bank’. Pendidikan gaya bank menempatkan guru sebagai subjek dan siswa sebagai objek. Pengetahuan diumpakan sebagai barang jadi yang siap diberikan kepada siswa. Siswa hanya menerima dengan serta merta apa yang diberikan guru dan mematuhi seluruh instruksi guru. Tidak ada proses dialog yang terjalin antara guru dengan siswa, sehingga siswa tidak merasa bahwa sesungguhnya ia tertindas. Pada akhirnya, guru akan merecall pengetahuan yang pernah diberikannya pada siswa.
Di tingkat kesadaran yang kedua, siswa sudah mengetahui bahwa apa yang dikatakan guru tidak selalu sesuai dengannya, tetapi siswa belum mau bertindak atau berusaha untuk mematahkan pendapat guru. Di sini siswa sudah mampu mengetahui idealnya atau bagaimana seharusnya, namun belum ada aksi nyata.
Telah disebutkan di atas bahwa tujuan pendidikan adalah upaya penyadaran. Hal ini tidak lepas dari kondisi social pada masa Paulo. Pada bagian terdahulu, dijelaskan kondisi sosial antara kaum penindas dan penindas, kaum miskin dan kaya pada waktu itu sangatlah terlihat. Freire menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang unik dibandingkan makhluk yang lain. Manusia adalah subyek aktif bukan obyek yang bias dieksploitatif.
Paulo Freire juga menegaskan bahwa kesadaran kritis merupakan suatu bentuk kesadaran yang mengimplikasikan sikap-sikap kritis dalam memahami realitas.Ia senantiasa meliputi pemahaman yang utuh tentang realitas dan aksi konkrit untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih manusiawi.Di tingkat kesadaran yang ketiga, siswa berusaha secara sadar mengubah atau mengganti sistem yang menindas menjadi sistem yang adil dan bisa mereka kuasai.Penyadaran ini berupaya membentuk peserta didik agar bias melakukan analisis reflektif, baik di lingkungan sekolah, dalam proses belajar mengajar, maupun di lingkuangan luar sekolah. Di sini siswa berani untuk mengemukakan apa yang mereka anggap benar sesuai keadaan yang sedang terjadi di sekolah. Guru tidak bias bertindak sesuka hati mereka karena siswa sudah memiliki pandangan sendiri terhadap keadaan yang mereka hadapi. Jika guru bertindak otoriter pada siswa pada saat proses pembelajaran, siswa berani mengeluarkan pendapat yang mereka anggap benar sebatas yang diketahui siswa. Dalam kesadaran ini terjadi proses dialog antara guru dan siswa sehingga siswa merasa dihargai. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal, bahwa pendidikan ini merupakan kontradiksi atau bentuk perlawanan dari pendidikan gaya bank.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pendidikan harus dapat menyadarkan kaum tertindas agar mempunyai kesadaran kritis. Terdapat tiga kesadaran, yang pertama kesadaran magis adalah individu yang tidak melawan atau mengubah realitas hidupnya, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.Yang kedua kesadaran naïf. Pada tingkat kesadaran ini, individu sudah mengetahui penyebab keadaan tertindas itu namun mereka belum mau beraksi. Pada tingkat kesadaran ketiga ini orang mampu menafsirkan secara mendalam permasalahan yang dihadapinya.
Implikasi teori Paulo Freire dengan praktik pendidikan masa kini. Di tingkat kesadaran yang pertama, yaitu kesadaran magissiswa hanya menerima dengan serta merta apa yang diberikan guru dan mematuhi seluruh instruksi guru. Tidak ada proses dialog yang terjalin antara guru dengan siswa, sehingga siswa tidak merasa bahwa sesungguhnya ia tertindas. Di tingkat kesadaran yang kedua, siswa sudah mengetahui bahwa apa yang dikatakan guru tidak selalu sesuai dengannya, tetapi siswa belum mau bertindak atau berusaha untuk mematahkan pendapat guru. Di tingkat kesadaran yang ketiga, siswa berusaha secara sadar mengubah atau mengganti sistem yang menindas menjadi sistem yang adil dan bisa mereka kuasai.
B.  Saran
Pendidikan harus memberikan kesempatan siswa untuk mengemukakan pendapatnya agar ada proses dialogis antar siswa dengan guru. Persekolahan diharapkan mampu menanamkan kesadaran kritis pada siswa, baik dengan memberikan rangsangan sesuai kebutuhan siswa atau memberikan respon yang tepat.
DaftarPustaka
Rukiyati, danAndriyani, L. 2015.MengenalFilsafatPendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Smith, William A. 2001. Conscintizacao: TujuanPendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Komentar